Tuesday, May 12, 2020

Mola, Desa Para Pengelana Laut

Oleh: Rizal Katili

D
ari ketinggian, saya melihat hamparan laut yang jernih dihiasi oleh karang-karang dan rumput laut berwarna-warni. 

Media asing menyebutnya “Serpihan Surga.” 

Taman Laut Nasional WAKATOBI Sulawesi Tenggara, terdiri dari empat pulau yaitu, Wangi-wangi, Kaledupa, Tomian dan Binongan. Pintu gerbangnya adalah Bandara Matahora di Wangi-wangi.

Tiba di Wangi-wangi, Seto mengantar saya ke sebuah rumah makan berdekorasi bambu beratapkan rumbai–rumbai daun kelapa. Lalu menikmati semangkuk bakso dan es kelapa muda. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju tempat istirahat di dekat taman tengah kota.


***
  
Matahari belum tinggi, ketika saya menyusuri bawah laut. Tampak ikan mendekat, lalu pergi. Ada pula rumput laut beraneka bentuk di sana-sini. Karang-karang masih terpelihara dengan baik.




Selesai menyelam, dilanjutkan santap siang di pulau kecil dengan panorama bentangan laut. Usai makan saya menuju tujuan wisata berikutnya, Desa Mola.



Anak-anak kecil menyambut dengan ramah di gerbang desa. Sebelah kanan dan kiri terlihat rumah asli penduduk yang dibuat di atas tiang-tiang kayu. Sampan-sampan bertengger di depan rumah. Jadi teringat sebuah karya fotografi Sergei Rameli. Kota Venesia Italia, di laman webnya.  

Ada toko cinderamata yang menjual kerajinan tangan warga desa. Bahan bakunya kerang, pernak-pernik wanita, seperti dompet, jepitan rambut dan kalung beragam bentuk.



Anak-anak asik main Lepa, perahu tradisional, mereka belajar mengayuh sesekali berenang tanpa takut tenggelam. Sejak usia dini sudah diajarkan mengakrabi laut.




Suku Bajau atau Bajo adalah para pengembara laut. Mereka bisa bertahan berbulan-bulan hidup di atas perahu. Bahkan mereka sanggup menyelam sampai kedalaman 70 meter. ( dari Washington Post).



Saya lalu menyusuri jalan-jalan kayu yang berkelok, terlihat bangunan besar yang belum selesai dikerjakan, bentuknya menyerupai dome atau kubah setengah lingkaran. Kata salah seorang warga, ini nantinya akan dijadikan balai pertemuan, tempat warga desa berkumpul.



Di halaman rumah, ada Ibu dan anak perempuan yang sedang duduk,  Wajah mereka putih polesan bedak dingin. Selain tradisi adat, juga untuk menahan udara panas. Ujar seorang ibu dengan ramah sambil menenun kain.

Tidak ada dentuman suara musik, seperti di Legian Bali. Tidak ada hiruk-pikuk turis asing dengan baju super mini. Sepi disini, desir angin menambah kental nuansa religi. Komunikasi dengan pencipta jagad raya menjadi penguat jiwa-jiwa para pengelana laut.

Hari sudah petang, saya pamit pulang, dan mengucap salam ke pemandu, sambil menyusuri jembatan pelangi yang dibangun di atas laut.  

“Desa Mola itu tenang, paling-paling suara ombak dan angin.” Ucap Seto, ketika mengantar saya ke Bandara.

Burung besi membawa saya pergi, ada kenangan yang tertinggal. Di Mola, Desa Para Pengelana Laut.


Sulawesi Tenggara, 10 Agustus 2017




No comments:

Post a Comment

1 Syawal

Oleh: Rizal Katili Matahari belum tinggi Kami bergegas pergi Menuju hati yang terpatri Kulihat sepi ketika pagi Jalan ...